Selasa, 27 Januari 2015

Dicari: PETANI!

Suatu hari seseorang berkata pada saya, “Jadi petani itu gampang kok! Pokok punya duit buat beli lahan, beli bibit, pupuk, dsb. Tenaga bisa ngupahi orang. Beres wis, jadi petani!”

Saya senyum-senyum, tidak mengiyakan juga tidak membantahnya. Saya kepikiran, kira-kira ada berapa banyak ya, “enterprener tani”—demikian dia menyebut dirinya—di endonesa tersiksa ini? Kayaknya memang banyak. Dan saya kok diam-diam jadi sedih. Gak duuemen saya sama makeluk tani kayak prejengan orang itu. Tapi bagaimanapun juga mau gimana-gimana itu hak dia. Maka saya pun jadi pingin menggunakan hak saya sendiri: nulis ini sebisa saya.

***


Ada polisi, lurah, presiden, makelar, bandit, mafia, dan sebagainya. Ada mobil, hape, roti, krupuk, gethuk, dan lain-lain. Bagaimana kita membedakannya satu dengan lainnya? Bahwa misalnya orang itu adalah bankir, bukan jukir? Ini pacul, bukan bandul, atau manuk kuntul?

Dari FUNGSI-nya, sodara-sodara!

Biarlah anak-anak TK saja yang terkecoh oleh kostum-kostum karnaval atau bentuk-bentuk bungkus luaran. Untuk manusia yang telah genap akalnya, membedakan segala sesuatu harus dari fungsinya. Sepotong roti tidak begitu saja menjadi mobil meskipun dicetak dan dihias menyerupai mobil. Itu adalah roti karena fungsinya masih sebagai roti yaitu dimakan. Seorang polisi tidak harus tampil dengan seragam dan pistol. Seorang didapuk ustad bisa jadi cuma orang mata amplopan, atau pencari massa, atau bandit kelamin penanam sperma.

“Modus”, menjadikan tampilan hanya sebagai kedok untuk melancarkan agenda telek di balik rempeyek.

Lalu adalah petani. Bagaimana kita mengenali seseorang adalah seorang petani? Di fesbuk beredar poto seseorang memakai caping sedang membuka lestop di sebuah gubug di sawah. Dengan cepat kita mengartikannya sebagai poto petani yang canggih. Memang seperti itu gambaran umum kita tentang petani: bercaping, pegang cangkul, mahasiswa ITS (isuk-isuk turut sawah). Bagaimana dengan petani yang benar-benar petani? Petani yang menepati fungsi sejatinya sebagai petani? Bukan petani karnapal atau petani pencitraan abal-abal?

Untuk bicara fungsi, dengan terpaksa kita harus istirahat dulu dari perayaan Hari Males Mikir Sedunia. Tanpa kerelaan memilah dan menelaah, tamatlah sudah. Cukuplah sampai paragraf ini jangan diteruskan lagi. Paragraf selanjutnya hanya untuk orang-orang kurang kerjaan yang tidak bisa terima dengan kerja-kerja-kerja tapi tidak jelas sebenarnya kita ini kerja apa dikerjai belaka.

***

Bertani (menurut penrawangan saya) adalah kegiatan mengolah tetumbuhan, terutama buat mengambil bahan makan. Karena manusia butuh makan sejak ia diciptakan, maka bertani aslinya adalah kerjaan bawaan lahir setiap manusia. Profesi ini ada sejak Nabi Adam ada dan tinggal di surga. Ketika itu bertani hanyalah tinggal panen, panen dan panen, persis bertani impian simbah Masanobu Fukuoka: do-nothing-farming (tani-gak-nglakoni-opo-opo).

Nabi Adam as. selanjutnya dimutasi ke dunia. Kurang jelas saya kenapa kok ada acara mutasi segala,  yang jelas anak turun Adam ketika di dunia semakin gak karu-karuan ulahnya. Kesalahan paling mendasar manusia adalah menjalani hidupnya secara tidak fitrah, tidak alami. Dengan bahasa lain, hidup tidak sesuai dengan job-deskripsen-nya.

Urusan jobdes ini memang rumit-rumit mak nyus plekenuttt. Jobdes ular misalnya, adalah nguntal tikus agar jumlah ekor tikus di sekitarnya tetap terjaga gak terlalu banyak juga gak terlalu sedikit. Semua ular bisa dipastikan hidup secara fitrah. Mereka gak perlu nggagas perkara alami apa alamat apa alasan, hidup mereka pasti alami. Itu karena kompas hidup mereka hanyalah naluri.

Sedang manusia, perkakasnya lebih komplit. Setidaknya, manusia punya warisan “buah khuldi”, yang konon adalah babonan pengetahuan dunia, yang didapat Nabi Adam as ketika masih kuliah di surga. Dengan modal itu, manusia menjadi punya pilihan: hidup secara alami apa secara ahlambe lamissss cangkem only no bukti.

Itulah jobdes manusia di dunia: pembuktian. Tidak diciptakan manusia kecuali untuk beribadah. Kata ibadah ada sambungan kata dengan abdi. Beribadah artinya mengabdi; manut, nurut gak wani mbantah. Jobdes manusia adalah membuktikan diri pantang selingkuh; dulu ngaku abdi, diiming-imingi ampas dunia kayak apa saja tetap teguh mengabdi. Jan-jannya, Gustialah asli gak pathek’en mau diibadahi apa diibodohi. Mung ae Gustialah sudah wanti-wanti, sapa wonge hidup ngawur, hidupnya ajur.

Ular tadi misalnya, kalau entah kesambet apa akhirnya menolak nguntal tikus tapi malah nggragoti melon, wis toh, ajur kabeh! Kabeh. Semua. All. No eksepsen. Bukan cuma pelaku hidup ngawur itu saja yang ajur. Efeknya seperti orang melubangi perahu, seisi perahu akan ikut karam. Begitulah, orang yang hidup ngawur akan bagi-bagi kehancuran pada lingkungan sekitarnya.

Inilah biang kerok kenapa kemudian bertani tidak bisa lagi tinggal panen, panen dan panen. Kengawuran hidup manusia menyebabkan timbangan baik-buruk alam jadi njomplang, tidak lagi seimbang, lebih berat buruknya daripada baiknya. Setelah banyak diambili tapi sedikit yang dikembalikan, alam sibuk menyembuhkan dirinya sendiri, tidak bisa lagi sumringah mempersembahkan panenan (padahal itulah jobdes alam: unjuk panenan). Bertani menjadi kegiatan ribet: harus membenih, membibit, menanam, menyuapi, menjaga, barulah panen. Ketika itulah TIDAK SEMUA ORANG BISA BERTANI.

Nanti dulu, hidup ngawur itu jlentrehnya hidup yang gimana?

Ngawur itu menolak aturan. Sak karep-karep udel sendiri. Kebalikan ngawur adalah teratur. Hidup teratur adalah hidup yang menepati aturan. Satu-satunya pihak yang memiliki otoritas untuk menyusun aturan adalah Sang Pencipta dan Pemilik Hidup yaitu Tuhan. Seperangkat aturan hidup itu biasa kita sebut agama.

Pada dasarnya semua manusia beragama. Orang ngawur yang menolak ikut aturan sebenarnya ia sedang bikin aturan hidupnya sendiri yang artinya bikin “agama” sendiri. Orang-orang seperti itu—nuwun sewu—biasanya cenderung kemeruh alias sok tahu. Ia merasa sangat tahu apa itu hidup dan bagaimana persisnya mesti menjalaninya. Sadubilah ....

Setiap agama menjanjikan kesenangan dan “agama” orang-orang kemeruh bisa kita kenali dari janji kesenangan yang sangat praktis, segera dan dengan durasi yang sekian sret saja. Pedoman halal-haramnya sangat yahud; pokoknya yang enak-enak pasti halal dan yang eneg-eneg pasti haram. Menghadapi “agama” seperti itu, segala sesuatu nyaris bisa dihitung tanggal runyamnya dan memasuki periode jaman akhir kayak gini, kerunyamannya sedemikian dahsyat kualitas maupun kuantitasnya. Orang ngawur sudah tidak menyadari dirinya ngawur karena sudah sedemikian teratur dan usumnya kengawuran.

Fungsi petani sebagai pengolah tetumbuhan sudah diawurkan menjadi pengeksploitir tetumbuhan. Petani memilih sibuk menghapal merek obat-obatan dan jadwal penyemprotan ketimbang menajamkan ngelmu titenan. Petani dengan rai gedheg mengajari tanah bagaimana ia mesti menyuburkan diri, mendikte daun bagaiman ia mesti menyapa matahari. Alih-alih bersopan santun  ketika berhubungan dengan alam, petani malah mengangkat diri menjadi satpam lingkungan yang menertibkan daur kehidupan. Alamaak!

Kalau gak ada petani, mau makan apa kita semua? Ternyata jawabnya adalah kita makan hasil panenan bercampur baur dengan pestisida, herbisida, fungisida dan sida-sida lainnya yang dihidangkan menjadi humanisida. Itu karena petani yang sebenar-benarnya bertani, yang menjadi penghubung antara kita dan alam tetumbuhan, yang menjadi juru runding kita untuk bernegosiasi dengan alam, dimanakah beliaunya berada sekarang?

Jaman wis akhir, Bumine goncang
Akale jungkir, agamane ilang

Wis embuh lah! Saya sendiri uuisin ngaku jadi petani karena kok dadak ngolah, ngilmu saya tentang apa tumbuhan, tanah, udara, dan segala mata rantai sambung-menyambungnya asli masih jauh dari jangkep. Tapi tidak akan ada kata terlambat untuk belajar bertani karena saya yakin, semua manusia terlahir untuk bertani. Demikian yang dicontohkan Kanjeng Nabi: “Menanamlah hari ini, meski kautahu besuk itu hari kiamat!”[]

Mak Iyah S created a doc in the group Wahana Tani ( Cabai, Melon, Padi, Hama, Pestisida, dll ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar